BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Isu / Masalah Yang Diangkat
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis mengangkat
masalah mengenai sengketa
tanah hak ulayat dalam suatu suku di salah satu daerah pedesaan di Provinsi
Sumatera Barat. Perubahan sosial-ekonomi dengan sentuhan modernisasi telah
merubah arah sosial ekonomi komunal ke individual. Selain itu, garis keturunan
menurut ibu (matrilineal) bergeser ke parental, pergeseran ini berhubungan
dengan masalah pewarisan dan kepemilikan harta, biasanya harta diwariskan mamak
(paman) ke kamanakan (keponakan / anak dari adik perempuan) atau secara garis
ibu. Dengan mendesaknya kebutuhan ekonomi dan berubahnya pandangan terhadap
harta benda, saat ini seorang ayah berusaha mewariskan harta ke anak sendiri,
maka muncullah sengketa tanah.
1.2 Alasan Mengangkat Isu / Masalah
Masalah sengketa tanah akhir-akhir ini terjadi di
daerah Sumatera Barat. Hal ini berkaitan erat dengan sistem pewarisan di adat
Minangkabau karena pihak yang bersengketa mulai berubah pandangan disebabkan
oleh desakan ekonomi.
Rumitnya permasalahan ekonomi yang ada di negeri ini
telah menimbulkan berbagai macam masalah baru seperti korupsi, pencurian,
perampokan, sampai ke sengketa warisan. Masalah yang terjadi bahkan antar
sesama suku. Kentalnya budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi membuat
pemuka adat merasa perlu untuk memproses segala bentuk tindakan yang tidak
sesuai dengan aturan adat yang berlaku di daerah adat Minangkabau. Dan itu
tentu saja juga dalam rangka mempertahankan segala macam bentuk kebudayaan yang
ada di daerah adat Minangkabau, karena ditakutkan sedikit demi sedikit
kebudayaan itu memudar disebabkan oleh kebudayaan luar yang masuk ke negeri
kita.
Konflik yang terjadi adalah konflik dalam satu suku.
Agar masyarakat di luar Sumatera Barat tidak memiliki persepsi yang salah
mengenai apa yang sebenarnya terjadi, penulis mencoba untuk menyajikan
seluk-beluk permasalahan sengketa yang terjadi di salah satu daerah di Sumatera
Barat terutama di daerah-daerah pedesaan yang umumnya masyarakatnya bekerja
sebagai petani.
1.3 Tujuan dan Manfaat Tulisan
Adapun tujuan dari
penulisan mengenai masalah sengketa tanah hak ulayat ini adalah untuk memberi
kejelasan mengenai sengketa tersebut dan mengaitkannya dengan peran pekerja
sosial dalam menghadapi masalah ini.
Penulisan masalah
sengketa tanah hak ulayat ini dapat dimanfaatkan sebagai penambahan informasi
mengenai sengketa tanah dan peranan pekerja sosial apa saja yang dapat
dilakukan di dalam menangani klien yang mengalami kasus ini.
1.4 Metode yang Digunakan dalam Mengangkat Isu /
Masalah
Metode yang
digunakan dalam pengangkatan isu / masalah ini adalah library research, yaitu pengumpulan teori-teori dan fakta-fakta
melalui pencarian buku-buku di perpustakaan dan juga berita-berita seputar
sengketa tanah di Sumatera Barat yang ada di situs koran harian di internet.
Subjek dalam
pembahasan isu / masalah ini adalah beberapa daerah di pedesaan di Provinsi
Sumatera Barat, sedangkan objeknya yaitu tanah serta penyebab sengketa itu
sendiri.
BAB II
ANALISIS ISU / MASALAH
2.1
Analisis
Isu / Masalah
Provinsi Sumatera
Barat telah melahirkan Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya yang merupakan suatu kejelasan atas pengakuan pemerintah atas
hukum adat sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Sumatera Barat.
Pola kepemilikan
tanah di Minangkabau tidak bersifat individual, melainkan milik komunal yaitu
milik suku, kaum, dan nagari. Pewarisan tanah itu didasarkan atas sistem
kemasyarakatan yang berpola matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu) yaitu
dari mamak (paman) ke kamanakan (keponakan). Dengan adanya pemilikan tanah
tersebut, maka seseorang dapat berkuasa atas tanah tersebut.
Kekayaan, terutama
dalam bentuk tanah menurut tradisi orang Minangkabau dapat dikategorikan ke
dalam beberapa bentuk, berupa harato pusako (harta pusaka), tanah rajo, dan
tanah ulayat. Harato pusako dimiliki oleh setiap kaum dalam suatu suku, dan
telah diwariskan melalui beberapa generasi. Harta ini tidak boleh
diperjualbelikan kecuali dipegang-gadaikan yang cenderung bersifat sosial
daripada ekonomi. Dan penggadaian tersebut baru diperbolehkan setelah diadakan
rapat kaum yang dipimpin oleh penghulu dengan didasarkan atas beberapa
pertimbangan.
Selain itu, ada
pula tanah ulayat (tanah nagari) yang dikuasai oleh para penghulu. Tanah ini
berupa rimba belantara dan hutan belukar yang tidak dimanfaatkan secara
langsung oleh penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Harato pusako di
Minangkabau dibagi menjadi dua:
1. Harato Pusako
Tinggi (Harta Pusaka Tinggi)
Harato pusako tinggi adalah hak milik bersama dari
suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun
dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengolahan mamak
kapalo warih (mamak kepala waris / lelaki tertua dalam kaum). Proses pemindahan
kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak ke kamanakan dalam istilah adat
disebut juga dengan pusako basalin.
Bagi harato pusako tinggi, berlaku ketentuan adat:
-Tajua indak dimakan bali (terjual tidak bisa
dibeli)
-Tasando indak dimakan gadai (agunan tidak dapat
digadai).
Hal tersebut mengartikan bahwa harato pusako tinggi
tidak boleh dijual.
Sebagai pusaka tinggi, persetujuan penghulu kaum
diperlukan untuk mengubah statusnya, misalkan untuk menggadaikannya. Petitih
masyarakat Minangkabau mengatakan tentang harta warisan itu adalah warih dijawek pusako ditolong (warisan
dijawat pusaka ditolong). Yang artinya sebagai warisan, ia diturunkan kepada yang
berhak dan yang berhak menjawatnya (menyambutnya), tetapi sebagai pusaka (yakni
sebagai warisan yang telah diterima), maka ditolong atau dipelihara karena
warisan ini milik bersama secara turun temurun.
2. Harato Pusako
Randah (Harta Pusaka Rendah)
Harato pusako randah adalah warisan yang
ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama, karena ahli warisnya masih
sedikitlah status harta ini dipandang masih rendah. Mereka dapat melakukan
kesepakatan bersama untuk memanfaatkannya baik dijual ataupun dibagi-bagi di
antara mereka. Pusaka rendah berarti harta pencaharian suami istri dalam rumah
tangga. Atau dengan kata lain merupakan segala harta hasil pencaharian dari bapak
bersama ibu sewaktu masih hidup dalam ikatan perkawinan, ditambah dengan
pemberian mamak (paman) dan tungganai (lelaki tertua dalam suatu kaum) dari
hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri.
Dalam konteks material, tanah pusaka sebagai penyangga
ekonomi masyarakat yang turun temurun menjadi terbagi semakin kecil, dan
sebahagian telah menjadi lahan pembangunan.
Secara garis besar, kemunculan sengketa tanah bisa
dikarakterisasikan sebagai berikut. Pertama, karena kesalahan melihat ranji dan
pewarisan harta. Kedua, sistem pegang gadai yang terlalu lama, sering berpindah
tangan, dan sistem Matrilineal mulai diabaikan, sehingga harta pusaka dialihkan
ke harta pencaharian. Ketiga, adanya keirian sosial dan ekonomi dari individu
atau kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain. Keempat, karena
hilangnya pembatas tanah secara alami. Kelima, menyimpangkan tanah pusaka.
Beberapa keterangan di pedesaan menunjukkan bahwa
munculnya perselisihan mengenai tanah adalah karena adanya pandangan bahwa pembahagian
harta warisan tidak adil, ini disebabkan karena kekaburan garis keturunan
keluarga. Kekaburan ranji (garis keturunan) bisa terjadi bila sebuah kaum yang
dulunya memiliki banyak harta (tanah) kemudian pada suatu masa punah. Kepunahan
atas terputusnya sebuah kaum mengakibatkan kaum yang palin dekat saling berebut
harta peninggalan. Semuanya mengemukakan bahwa pemilik terdahulu sudah
menghibahkan harta tersebut kepada kaumnya, tetapi tidak satupun yang bisa
mengemukakan bukti tertulis karena sistem hibah sering berlangsung secara
lisan, oleh sebab itu dalam mengajukan bukti-bukti sering terjadi pembelokan
ranji, sebab dalam konflik harta pusaka, ranji memang menjadi unsur yang
penting, yaitu sebagai unsur penentu kepada siapa harta akan diberikan.
Bagi petani yang tidak mempunyai tanah, tanah
yang cukup luas dan tidak diolah sering menjadi sasaran, Biasanya petani-petani
yang mempunyai hubungan keluarga jauh, atau orang-orang malakok
(bergabung) yang miskin dan kurang mendapat perhatian dari keluarga luar yang
ditempati akan melirik harta tanah yang luas tidak digarap itu. Mereka mencari
suatu jalan bagaimana bisa memiliki harta tersebut. Bisa jadi akan terjadi
persengkongkolan antara orang-orang yang malakok, yang sudah lama dan
berkembang untuk meggugat sebidang tanah tersebut.
Masalah lain adalah sukarnya menyelesaikan
masalah sengketa tanah di Minangkabau. Kenyataan ini terjadi karena, pertama,
menurunnya peranan penghulu terhadap kemenakan, sebab kemenakan merasa lebih
bijak karena pendidikannnya lebih tinggi, kedua, adanya dikotomi antara
pimpinan adat dan pimpinan resmi pemerintah desa. Dua hal ini sering
mengakibatkan mengembangnya pemecahan sengketa di Minangkabau, akibatnya adalah
tidak selesainnya sengketa di pedesaan.
Konflik pertanahan di Minangkabau secara spesifik
bisa dirumuskan sebagai, perampasan hak milik, pencegahan dari gangguan, serta
tindakan kekerasan, semua itu pada umumnya berkaitan dengan sistem keluarga
matrilineal, sebab sistem ini ikut mendorong atau memberi peluang akan terjadinya
sengketa. Pegang gadai dan pewarisan adalah masalah yang utama yang sering
mendorong terjadinya sengketa, sebab sistem ekonomi ini dilakukan pada umumnya
tanpa surat.
Selain itu sistem malakok atau bergabung ke penghulu
lain juga mengakibatkan perselisihan di kemudian harinya, sebab tanah yang
diserahkan untuk anggota suku yang baru, pada suatu saat akan direbut kembali
oleh anggota suku asli sementara orang malakok, karena sudah lama menggarap
tanah yang pernah diserahkan kepadanya tidak mau lagi melepas tanah tersebut,
sebab tanah itu juga sudah diwariskan turun temurun. Jika satu bidang tanah
dikembalikan, maka tanah-tanah lainnya bisa jadi akan digugat juga oleh kelompok
lain, karena statusnya juga pemberian.
Sengketa tanah yang terjadi dalam satu suku biasanya
disebabkan oleh keirian sosial. Masyarakat pedesaan yang dinamika ekonominya
tidak sama juga mengakibatkan perbedaan tingkat ekonomi. Ada masyarakat yang
ekonominya cukup stabil dan dinamis, dan ada juga yang hanya mampu mencukupi
kebutuhan hidup harian, dan ada juga yang tidak bertanah sama sekali.
Masyarakat yang berekonomi stabil kebanyakan
mempunyai tanah namun tidak digarap dengan baik, tanah-tanah tersebut
ditinggalkan kepada famili di kampung, sementara mereka tinggal di kota. Bagi
yang sudah memiliki mata pencaharian di kota, tanah di kampung dianggap sebagai
investasi, jadi tetap dijaga dengan baik untuk masa depan, jika mungkin suatu
saat anak-anak mereka ada yang kesusahan.
Sementara itu famili yang dititipkan tanah tadi sudah memanfaatkan dan
tentu saja merawat tanah tersebut dengan baik. Dan muncullah kesulitan jika
suatu saat pemilik tanah kembali untuk mengambil tanahnya pada saat diperlukan,
sementara hubungan kekerabatan di antara mereka masih kurang bisa
dideskripsikan secara mendetil, apalagi bagi anak-anak mereka kelak, dan itulah
yang akan menimbulkan sengketa di antara mereka.
2.2
Kaitan
Isu / Masalah dengan 7 Unsur Kebudayaan Universal Menurut Kluckhohn
Masalah sengketa tanah ini dapat dikaitkan beberapa
Unsur Kebudayaan Universal yang dikemukakan oleh Kluckhohn. Yang pertama adalah
Sistem Organisasi Kemasyarakatan, tepatnya dalam masalah ini bisa dilihat dari
sistem organisasi kemasyarakatan adat Minangkabau yang pemuka adatnya selalu
merundingkan segala sesuatunya demi kebaikan kaumnya sendiri. Maka tidak heran
jika ingin menggadaikan tanah kaum, prosesnya agak panjang karena tanah
tersebut menyangkut kepentingan semua orang di dalam kaum tersebut. Tanah
tersebut baru bisa digadaikan hanya untuk kepentingan darurat dan itu setelah
melalui kesepakatan pemuka adat dengan orang-orang di dalam kaum. Kepentingan
darurat itu seperti rumah induk yang sudah patut untuk direnovasi atau seperti
anak gadis yang sudah dewasa namun belum bersuami.
Dan yang kedua, masalah sengketa tanah ini berkaitan
Sistem Mata Pencaharian. Daerah yang berkonflik tanah umumnya adalah daerah
pedesaan. Karena di daerah pedesaan banyak penduduk yang bertani, maka mereka
membutuhkan tanah sebagai lahan untuk bercocoktanam. Penduduk di pedesaan ada
yang memiliki tanah sendiri untuk bercocok tanam, ada yang bekerja di ladang
orang lain, ada juga yang bekerja menggunakan tanah milik kerabatnya yang sudah
dititipkan kepadanya sementara kerabatnya tersebut tinggal dan memiliki
pekerjaan di kota. Yang menjadi permasalahan adalah ketika kerabatnya tersebut
kembali ke kampung untuk mengambil tanah miliknya yang telah dititipkan
tersebut. Di sinilah masalah terjadi, pihak yang menitipkan tanah merasa wajar
untuk mengambil kembali tanah tersebut karena secara hukum tanah tersebut
memang miliknya, namun pihak yang dititipkan juga tidak bisa disalahkan jika ia
tidak rela tanah tersebut kembali digunakan oleh pemiliknya karena ia sudah
lama menggunakan tanah tersebut, atau yang lebih parah lagi ketika pihak yang
dititipkan tersebut sudah melakukan perawatan selama tanah tersebut dititipkan
kepadanya. Tanah ini merupakan media bagi sumber penghasilan masyarakat
pedesaan.
2.3
Peran
Pekerja Sosial dalam Menghadapi Isu / Masalah
Peran pekerja sosial di dalam sengketa ini bisa
dikategorikan ke dalam beberapa peran. Yang pertama, pekerja sosial bisa
berperan sebagai fasilitator. Pekerja sosial dapat membantu klien untuk mampu
menangani tekanan situasional dan transisional. Strategi-strategi
khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan
penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset
sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah
dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara
pencapaiannya (Barker, 1987:49).
Peran kedua yang dapat dilakukan
pekerja sosial dalam kasus ini adalah sebagai mediator. Pekerja
sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya.
Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok
dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Pekerja sosial berperan
sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan
sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan
peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga,
serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang
dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang”
(win-win solution). Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam melakukan
peran mediator antara lain: mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat
konflik, membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain,
membantu mengidentifikasi kepentingan bersama, melokalisir konflik kedalam isu,
waktu dan tempat yang spesifik, memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung
mereka agar mau berbicara satu sama lain.
Peran ketiga yang dapat dilakukan
adalah sebagai pembela. Peran pembelaan atau advokasi
merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan
politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan
advokasi kelas (class advocacy). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan
atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela
kasus. Pembelaan kelas terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial
bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. Pembelaan dapat dilakukan untuk salah satu pihak yang bersengketa yang
mengajukan diri kepada pekerja sosial untuk membantu menyelesaikan masalahnya.
Beberapa strategi dalam melakukan peran pembela
adalah: keterbukaan (membiarkan berbagai pandangan untuk didengar), perwakilan
luas (mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan
keputusan), keadilan (kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang
berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan, pengurangan permusuhan
(mengembangkan keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan,
informasi (menyajikan masing-masing pandangan secara bersama dengan dukungan
dokumen dan analisis), pendukungan (mendukung patisipasi secara luas), kepekaan
(mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan
dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Masalah persengketaan yang terjadi di daerah-daerah
pedesaan di Provinsi Sumatera Barat memang cukup rumit karena kedua pihak yang
memperebutkan tanah memiliki alasan khusus dan kita tidak dapat menilai siapa
yang salah secara langsung. Karena pihak yang menitipkan tanah adalah pemilik
tanah, dan pihak yang dititipkan sudah menjaga, merawat, dan juga sudah
menggunakan tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Kentalnya aturan adat yang ada jarang menyelesaikan
masalah tanah ini karena melemahnya sistem ekonomi di negeri ini. Persengketaan
ini biasanya dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan karena dirasa lebih
mengikat. Globalisasi juga telah menghapus pandangan masyarakat sedikit demi
sedikit terhadap adatnya masing-masing terutama masyarakat yang terlibat
persengketaan.
Pekerja sosial dalam hal ini dapat berperan sebagai
fasilitator karena pekerja sosial berperan untuk membantu klien dalam
menghadapi tekanan situasional dan transisional. Lalu peran kedua yang dapat
dilakukan yaitu sebagai mediator, pekerja
sosial berperan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara kedua pihak yang bersengketa. Peran ketiga
yaitu pembela, karena pekerja sosial dapat membela salah satu pihak yang
mengajukan permintaan untuk membela dalam penyelesaian kasus sengketa tanah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Syafan, 2010, Tesis
: Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat dalam Suku Caniago di Nagari Muaro
Angek Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat, Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 12-20.
Amir, M.S, 2003, Adat
Minangkabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, hal 44.
Anwar, Chaidir, 1997,
Hukum Adat Indonesia : Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rhineka
Cipta, Jakarta, hal. 11.
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_34.htm
Diunduh pada 9 Desember pukul 14.00
Diunduh pada 9 Desember pukul 14.00
Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, 1978, Buku
Pegangan Penghulu di Minangkabau, Rosda, Bandung, hal. 42-44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar